Tempe adalah makanan khas dari Indonesia, khususnya dari jawa, yang dibuat dari fermentasi kedelai (atau bahan lainnya) yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadikannya sebagai bahan makanan setengah jadi yang penuh dengan gizi. Saat ini tempe bukan lagi makanan orang kampung, karena di luar negeri sana sudah banyak yang menjual tempe dengan harga yang cukup mahal.
Saya pernah iseng bertanya kepada teman yang ada di Jepang tentang tempe, katanya ada mini market yang menjualnya dengan harga sekitar Rp 100.000, 00 untuk 1 bungkus tempe yang beratnya tidak mencapai 1kg. Di Indonesia saja, 1 kg tempe hanya dihargai sekitar Rp 5.000 - 10.000, 00.
Pembuatan tempe sebenarnya gampang-gampang susah, bahan utamanya adalah kedelai yang direbus dan dikupas, kemudian direndam dan dikemas sembari dicampuri ragi, setelah dibungkus sesuai dengan keinginan, lalu tempe difermentasi hingga jadi.
Ada banyak sekali jenis tempe yang terkenal di Indonesia, diantaranya adalah tempe kedelai, bongkrek, gambus (menjos atau dage), koro padang, kecipir, tempe kacang hijau, tempe kacang merah, menjes, lamtoro, lupin, munggur, kara kratok, karet, gude, bungkil, tempe daun singkong, dan lain sebagainya.
Tempe adalah bahan makan setengah jadi yang bisa dibuat menjadi gorengan, mendoan, makanan, sambel, semur, orek, bacem, pepes, keripik dan lain sebagainya yang enak dan bergizi.
Maaf saja yah, terkadang ada orang yang memandang remeh dengan para pembuat dan pengusaha tempe, hanya karena bahan makanan yang satu ini dianggap kampungan dan tak memiliki nilai jual yang tinggi. Namun nyatanya ada banyak sekali pengusaha sukses yang berhasil kaya raya hanya dengan jualan tempe, bukan hanya di luar negeri saja, di Indonesia juga banyak kok.
Tempe tetaplah tempe, bahan utamanya kedelai, teman setianya adalah tahu. Apa yang membedakan dari yang lainnya? Mungkin sedikit rasa dan kemasan, namun sistem bisnis yang sangat berpengaruh dari bisnis makanan yang satu ini.
Dari pengalaman saya di desa, banyak pengusaha tempe yang memproduksi tempe dalam jumlah kecil, menjualnya dengan sistem penjualan langsung kepada pelanggan dari pintu ke pintu, ada pula yang menjualnya dengan motor keliling komplek. Menurut saya pribadi, cara seperti itu kurang maksimal untuk bisa mengembangkan bisnis ini.
Saya mengenal salah satu "sarjana" yang akhirnya memilih untuk jualan tempe di pasar, ini asli loh bukan rekayasa karangan semata. Teman saya ini mengaku kalau hasil usahanya dari bisnis tempe lebih besar daripada gajinya di kantor dulu, wew lumayan juga yah ternyata.
Sistem bisnis yang dipakai teman saya ini adalah dengan menjualnya di pasar, namun dia mengincar para pengusaha makana yang bisa dijadikan sebagai rekan bisnis. Misalnya saja, penjual rames yang setiap harinya membutuhkan tempe untuk bahan gorengan dan oseng sebagai lauk, dia bisa membeli hingga 2-3 kg setiap harinya. Jadi kalau mau sukses, carilah pelanggan yang membutuhkan tempe dalam jumlah banyak, jangan mengutamakan pelanggan yang hanya butuh untuk menu masakan harian.
Ada banyak sekali pengusaha makanan yang bisa diajak kerja sama jika anda adalah pengusaha tempe, jalin kerja sama dengan mereka dan dapatkan pelanggan tetap yang membuat omset penjualan anda bisa stabil setiap harinya.
Tempe bukan makanan kampungan, bisnis tempe tetap bisa sukses, namun anda harus move-on dari memikirkan rasanya saja, dan berpaling kepada kemasan, kualitas, dan sistem penjualan yang akan meningkatkan bisnis ada ke depannya.
0 Response to "Cara Sukses Pengusaha Tempe Kedelai, Bukan Masalah Rasa Tapi Sistem Bisnisnya"
Post a Comment